Sunday, October 28, 2007

CENGKERAMAN EKONOMI KAPITALISME GLOBAL DI INDONESIA

I

Oleh: Dwi Condro Triono


PEPENDAHULUAN

Saat ini kita tengah berada di abad kapitalisme. Di seantero jagad dunia ini tidak ada yang terbebas dari cengkeramannya, termasuk Indonesia tentunya. Sesungguhnya setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi ini sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh “ulah” kapitalisme global ini. Tidak perlu dengan kuliah di fakultas ekonomi yang tinggi, mereka yang tidak “melek” huruf-pun akan langsung bisa menjawab ketika ditanya tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini, walaupun tidak bisa memberikan istilah yang tepat untuknya. Semua orang langsung dapat “mendeteksi”, bahwa ada ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung saat ini. Sangat nampak, bahwa wajah ekonomi saat ini terus berjalan menuju kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub telah membawa mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain terus menyeret mereka yang miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang terus membengkak.

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin memberikan dua hal penting yang harus dilakukan untuk bisa menghadapi semua fenomena ini. Pertama, kita harus dapat menunjukkan apa sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan, sehingga keadaan ekonomi dapat menjadi seperti ini. Apakah benar, bahwa semua tragedi ekonomi ini memang bersumber dari “ajaran” ekonomi kapitalisme? Kedua, jika memang benar, maka kita harus memiliki strategi khusus untuk dapat membendung kapitalisme global tersebut, sekaligus dapat menghadirkan ekonomi alternatif yang dapat menjadi penggantinya.

II. MENCARI AKAR PERMASALAHAN

Untuk menunjukkan keterkaitan ajaran kapitalisme dengan tragedi ekonomi yang saat ini berkembang, analisis yang pernah diajukan Karl Marx sesungguhnya sudah cukup ampuh untuk dapat memahami fenomena tersebut. Ada dua teori penting dari Karl Marx yang perlu kita fahami bersama (Deliarnov, 1997 & Koesters, 1987):

1. Surplus labor and value theory

Dalam membangun teorinya, Marx berangkat dari pandangan nilai (value) terhadap barang dan jasa menurut Adam Smith dan David Ricardo. Nilai suatu barang itu diukur dari seberapa banyak tenaga yang telah dikorbankan oleh pekerja untuk memproduksi barang tersebut. Selanjutnya Marx melihat bahwa dengan adanya perubahan pola produksi dari sistem yang primitif kepada sistem yang modern, maka akan muncul ketidakadilan dalam ekonomi.

Pola produksi yang primitif:

1. Kepemilikan bersifat individual.

2. Produksi bersifat individual.

3. Penjualan bersifat individual.

4. Pembagian keuntungan bersifat individual.

Pola produksi yang modern:

1. Kepemilikan bersifat individual.

2. Produksi bersifat kolektif.

3. Penjualan bersifat kolektif.

4. Pembagian keuntungan bersifat individual.

Dalam pola produksi modern, yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik perusahaan, kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan tetapi, majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya dianggap sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme, untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin. Jika nilai barang itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka sesungguhnya telah terjadi surplus nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan demikian, ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.

2. The law of capital accumulations

Menurut Marx, dalam persaingan yang bebas, perusahaan yang besar akan senantiasa “memakan” perusahaan yang kecil. Oleh karena itu, jumlah majikan akan semakin berkurang, sebaliknya jumlah kaum buruh akan semakin banyak. Demikian juga, jumlah perusahaan yang besar juga akan semakin sedikit, namun akumulasi kapitalnya akan semakin besar. Jika jumlah buruh semakin banyak, maka akan berlaku hukum upah besi (the iron wages law). Dengan demikian, nasib kaum buruh akan semakin tertindas sedangkan para kapitalis akan semakin ganas dan serakah.

Analisis yang dikemukakan oleh Marx memang masih terlalu sederhana untuk ukuran perkembangan ekonomi kapitalisme saat ini. Sebab, perkembangan kapitalisme global di abad mutakhir ini sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor yang lain, bahkan dengan dukungan berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Berbagai sektor maupun lembaga yang mereka ciptakan tersebut diantaranya adalah (Triono, 2007):

1. Sektor keuangan

Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan menciptakan lembaga perbankan. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar.

Ternyata keberadaan lembaga perbankan ini masih dianggap belum cukup, mereka terus mengembangkan kreatifitasnya. Akhirnya ditemukanlah ide untuk menciptakan sebuah pasar yang unik, yang selanjutnya mereka namakan sebagai pasar saham. Dengan adanya pasar ini, mereka dapat dengan mudah untuk melempar kertas-kertas sahamnya agar dibeli masyarakat, sehingga mereka segera mendapatkan gelontoran modal yang mampu untuk membuat perusahaan mereka menjadi cepat menggurita.

2. Sektor kepemilikan umum

Nafsu kapitalisme tidak akan pernah mengenal kata “cukup”. Mereka tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak hanya ingin berhenti untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Dengan dalih kebebasan ekonomi dan kebebasan pasar, mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dsb.

3. Sektor kepemilikan Negara

Jika mereka sudah banyak menguasai sektor kepemilikan umum, maka bagi kaum kapitalis tetaplah belum dianggap cukup. Mereka kemudian melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melego sahamnya ke pasar, dengan harga yang murah tentu saja.

4. Sektor kekuasaan

Menjadi besar dan cepat besar ternyata masih dianggap belum cukup. Mereka juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan. Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka.

Dalam politik demokrasi yang kapitalistik, untuk menjadi penguasa prasyarat yang paling menentukan hanya satu, yaitu harus memiliki dana yang besar untuk melakukan kampanye maupun untuk “membeli” suara rakyat. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh kaum kapitalis yang memang sudah berkubang dengan uang.

Cara yang mereka lakukan ada dua kemungkinan, yaitu dengan langsung mencalonkan diri untuk menjadi penguasa, atau cara yang kedua adalah dengan mendanai orang lain lain agar menang dalam pemilihan dan dapat menjadi penguasa. Mereka yang telah dicalonkan oleh kaum kapitalis, jika menang maka dia harus “menghambakan” diri kepada mereka yang telah mendanai bagi kemenangannya.

5. Sektor moneter

Apakah sepak terjang kaum kapitalis di atas sudah cukup? Ternyata masih tetap belum cukup. Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin terus mereka lakukan. Dengan apa? Ternyata mereka masih memiliki cara yang benar-benar canggih dan nyaris lepas dari logika akal sehat manusia. Mereka menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem mata moneter yang benar-benar menguntungkan mereka.

Sistem moneter yang mereka kembangkan adalah dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas. Dengan model tree in one inilah mereka akan dapat memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dengan tanpa harus banyak mengeluarkan banyak keringat.

6. Sektor pendidikan

Masih ada satu sektor lagi yang tidak boleh dilupakan, yaitu sektor pendidikan. Mengapa sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan mereka sangat jelas, yaitu kebutuhan untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skill yang tinggi dan mau digaji dengan sangat murah.

Caranya adalah dengan “melemparkan” dunia pendidikan ke pasar bebas mereka. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus “dihabisi”, sehingga biaya pendidikan bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang pragmatis, oportunis dan hanya bermental jongos. Sangat sulit dalam dunia pendidikan yang mahal dapat menghasilkan manusia-manusia yang idealis yang mau berfikir tentang jati dirinya maupun jati diri bangsanya.

III. CENGKERAMAN KAPITALISME DI INDONESIA

Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme (Samuelson & Nordhaus, 1999).

Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme (Tambunan, 1998).

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).

Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu (Rachbini , 2001).

Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):

1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.

3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.

4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.

IV. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI

Setiap kita membicarakan perubahan, maka kita akan dihadapkan pada dua kemungkinan perubahan, yaitu: perubahan secara fungsional atau perubahan secara struktural. Menilik problem ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia, maka perubahan yang paling urgen yang harus segera dilakukan adalah perubahan yang bersifat struktural, walaupun perubahan yang bersifat fungsional juga tidak boleh dilupakan.

Perubahan ekonomi secara struktural berarti mengganti sistem ekonominya, dari sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik menjadi sistem ekonomi yang baru. Namun, perubahan sistem tersebut bukan berarti merubah sistem ekonominya menjadi sosialis, sebab sistem ekonomi ini juga sudah terbukti gagal. Masih satu harapan lagi yaitu perubahan menuju sistem ekonomi Islam.

Sebagaimana karakter perubahan yang bersifat sistemik, maka sistem ekonomi Islam juga akan membongkar sebuah sistem ekonomi mulai dari akarnya. Perubahan yang bersifat mendasar dari ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan terhadap kepemilikan dari harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak untuk dibagikan secara bebas (sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme) untuk manusia, namun Allah swt telah memberi ketentuan yang adil dalam pembagiannya, yaitu (An-Nabhani, 1990): kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Masing-masing kepemilikan terhadap harta kekayaan tersebut sudah ada aturan-aturannya yang terinci, dengan mengikuti tiga runtutan perlakuan yang adil, yaitu (An-Nabhani, 1990):

1. Pengaturan dalam masalah kepemilikan (al-milkiyah).

2. Pengaturan dalam masalah pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah).

3. Pengaturan dalam masalah distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas).

Selanjutnya, sistem ekonomi Islam dalam suatu negara akan dibangun dan dikembangkan dengan bertumpu kepada tiga pilar ekonomi Islam tersebut. Insya Allah, jika pengaturannya konsisten, wajah ekonomi suatu negara akan nampak sangat jelas perbedaannya dengan wajah ekonomi yang bercorak kapitalistik.


DAFTAR RUJUKAN

Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Koesters, Paul Heinz, 1987, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita, Gramedia, Jakarta.

An Nabhani, Taqyuddin, 1996, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif - Perspektif Islam, Alih Bahasa Muh. Maghfur, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. II.

Rachbini, Didik J., Republika 27 Juni 2001

Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.

Tambunan, Tulus, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Triono, Dwi Condro, Makalah Seminar Setengah Hari dengan tema “Dilema Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian Indonesia” Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus 2001.

Triono, Dwi Condro, Makalah Seminar dengan tema “Islam dan Tantangan Ekonomi Global” Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta. Tanggal 22 Mei 2007.

Saturday, April 21, 2007

PENGENDALIAN INFLASI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN


Oleh: Dwi Condro Triono


Abstraksi

Prasarat utama bagi negara yang ingin mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjangnya adalah terciptanya kestabilan ekonomi jangka pendek. Inflasi merupakan penyakit utama ekonomi jangka pendek yang perkembangannya semakin kompleks dan semakin sulit untuk dikendalikan. Berbagai kebijakan ekonomi konvensional sudah tidak ampuh lagi untuk menyelesaikan penyakit ekonomi ini.

Tulisan ini ingin memberikan sebuah terobosan solusi untuk mengatasi inflasi dengan pendekatan yang baru, yaitu dengan mengacu kepada perspektif Al Qur’an. Perspektif baru ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah inflasi tidak hanya dalam dataran menghilangkan gejala (symtom), tetapi benar-benar dapat menghilangkan penyakit langsung kepada sumbernya (causatic).

Menurut perspektif Al Qur’an, sumber penyebab munculnya gejolak ekonomi, yang ditunjukkan dengan inflasi yang tinggi adalah akibat penggunaan mata uang yang menyimpang dari Al Qur’an. Penyimpangan itu tidak lain adalah menjadikan mata uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu disebut oleh Al Qur’an dengan istilah riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadhl. Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan perekonomian yang lebih stabil, dengan tingkat inflasi yang lebih terkendali, maka harus ada keberanian untuk menghilangkan sumber penyebab utamanya tersebut.

I. PENGANTAR

Pembangunan ekonomi senantiasa menduduki peran yang sangat penting bagi negara-negara di seluruh dunia ini, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Terlebih lagi bagi negara-negara yang sedang berkembang (NSB), yang nota bene adalah negara-negara bekas jajahan (Prayitno & Santoso, 1996). Namun demikian, dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi itulah, banyak masalah yang harus dihadapi oleh setiap negara. Masalah yang senantiasa harus dihadapi itu tidak lain adalah masalah ketidakstabilan ekonomi.

Ketidakstabilan ekonomi biasanya diidentikkan dengan munculnya penyakit-penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit ekonomi makro utama yang senantiasa muncul dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu: masalah inflasi, pengangguran dan ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999). Menurut Bordo, Dittimar & Gavin (2003), sejak tahun 1980-an masalah inflasi merupakan masalah ekonomi nomor satu yang harus dihadapi oleh negara-negara di dunia ini. Bahkan, peran bank sentral di berbagai negara di dunia ini sudah identik dengan bank sentral yang mengadopsi target inflasi baik secara implisit maupun eksplisit.

Inflasi pada mulanya senantiasa diidentikkan dengan pencetakan uang yang terlalu banyak, yang menyebabkan bertambahnya pasokan jumlah uang beredar menjadi lebih banyak. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari kenaikan harga hanya satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).

Pengalaman krisis demi krisis yang menimpa ekonomi dunia dalam satu abad terakhir ini seharusnya telah menyadarkan kepada kita bahwa masalah inflasi telah berkembang menjadi persoalan yang semakin kompleks. Diawali dengan terjadinya malapetaka yang besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997-an, adalah pengalaman ekonomi dunia dengan inflasi tingginya (hyper inflation) yang sangat merusakkan sendi-sendi ekonomi (Triono, 2006).

Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan hanya dilakukan pada symtom (gejala) saja, bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis ekonomi dengan hanya melihat ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecendrungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama internasional yang tidak mencukupi dsb. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih mendalam dan serius (Chapra 2000).

Tulisan ini menawarkan solusi alternatif terhadap pengendalian ketidakstabilan ekonomi khususnya yang ditimbulkan oleh inflasi dengan menggunakan perspektif Al Qur’an. Perspektif ini digunakan dengan tujuan untuk mencoba mencari penyelesaian masalah sampai kepada sumber arus utama masalahnya, bukan hanya sekedar penyelesaian kepada gejalanya saja.

II. INFLASI DAN PENGANGGURAN

Sebelum kita masuk kepada solusi menurut perspektif Al Qur’an, terlebih dahulu kita harus melihat kembali, mengapa pengendalian inflasi yang diberikan ekonomi konvensional senantiasa mengalami kebuntuan? Jawabnya tidak lain adalah, bahwa kebijakan ekonomi yang disandarkan pada teori ekonomi konvesional tidak pernah memberikan penyelesaian yang bersifat tuntas. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, setiap solusi yang diberikan akan bersifat saling menegasikan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Contohnya adalah, jika pemerintah ingin menurunkan tingkat inflasi dengan menggunakan kebijakan uang ketat (tight money policy), justru akan menimbulkan dampak meningkatnya angka pengangguran. Demikian sebaliknya, jika ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi yang tinggi dan seterusnya. Fenomena hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran tersebut dilukiskan oleh seorang Profesor dari Canberra yang bernama A.J. Phillips, yang kemudian dikenal dengan kurva Phillips sebagai berikut (Humphreys, 1997):

Gambar 1. Kurva Phillips



Namun demikian, logika kurva Phillips di atas semakin jauh dari faktanya ketika ekonomi dunia memasuki pasca tahun 70-an. Saat itu ekonomi dunia dilanda resesi hebat. Segenap kebijakan ekonomi telah dikerahkan, tetapi tidak banyak membantu mengatasi bencana ekonomi tersebut. Kebijakan untuk mengatasi inflasi telah menyebabkan terjadinya pengangguran yang lebih besar. Sementara itu, gerakan ekspansif untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan telah menyebabkan terjadinya laju inflasi yang sangat tinggi. Kurva Phillips semakin menjauh dari titik originnya. Fenomena itu kemudian dikenal dengan istilah stagflasi ekonomi. Suatu penyakit ekonomi baru yang lebih menakutkan (Deliarnov, 1997; Humphreys, 1997). Ketidakberdayaan kebijakan ekonomi konvensional tersebut akhirnya menjadi semakin nyata ketika krisis moneter mendera kawasan Asia. Hampir seluruh kebijakan ekonomi menjadi lumpuh seketika.

III. KETIDAKSTABILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

Jika kita mau merujuk kepada Al Qur'an, maka akan dijumpai ayat yang memberi informasi tentang akan terjadinya ketidakstabilan atau bahkan kegoncangan ekonomi, jika manusia melakukan kesalahan dalam menjalankan praktik ekonomi. Hal itu dapat disimak dalam QS. Al Baqarah: 275:



“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila...”.

Itulah gambaran tentang manusia yang berdiri saja tidak bisa, laksana manusia yang kerasukan setan, mengalami kegoncangan yang hebat. Jika kita periksa berbagai kitab tafsir, kebanyakan para mufassir memberikan penafsiran terhadap lafadz “laa yaquumuuna” (tidak bisa berdiri) adalah keadaan ketika dibangkitkan dari alam kubur pada hari kiamat nanti. Para pemakan riba nantinya tidak akan bisa berdiri laksana orang yang kerasukan setan (Ash- Shiddieqy, 2000).

Menurut pendapat penulis, akibat dari memakan (mengambil) riba selain akan mengalami keadaan “tidak bisa berdiri” kelak di akherat (sebagaimana yang digambarkan oleh para ahli tafsir di atas), keadaan tersebut juga akan dialami para pengambil riba di dunia ini. Pendapat penulis ini didasarkan pada dua pendekatan pemahaman sebagai berikut:

Pertama. Pendekatan pemahaman yang didasarkan pada penjelasan dari keumuman ayat-ayat Al Qur’an yang lain. Ada banyak ayat Al Qur’an yang memberi penjelasan secara umum, bahwa jika manusia melakukan penyimpangan atau berpaling dari petunjuk Al Qur’an, maka manusia pasti akan merasakan kehidupan yang sengsara di dunia ini. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah Firman Allah SWT:


“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha: 124).

Lafadz “dzikriy” yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Al Qur’an. Sedangkan lafadz “ma’iisyatan dhanka” adalah kehidupan dunia yang sengsara. Ayat tersebut memberikan penjelasan secara umum, bahwa setiap manusia yang menyimpang dari Al Qur’an dampaknya tidak hanya akan dirasakan di akherat, akan tetapi juga akan dirasakan di dunia ini, yaitu akan menyebabkan kehidupan yang menderita.

Kedua. Pendekatan pemahaman yang ditinjau dari konteks pembicaraan dari kandungan awal ayat Al Baqarah 275 tersebut. Konteks pembicaraan yang terkandung pada awal ayat ini adalah tentang celaan terhadap orang yang memakan atau mengambil riba. Konteks pengambilan riba tidak lain adalah persoalan yang terkait dengan bidang ekonomi. Dengan demikian, apa yang dipaparkan Allah SWT dalam ayat ini tidak lain adalah pembicaraan dalam konteks ekonomi.

Dengan demikian, berdasarkan kepada dua pendekatan pemahaman di atas, maka penulis dapat memberikan pemahaman terhadap awal ayat di atas, yaitu tidak hanya sekedar kegoncangan yang akan terjadi di akherat saja, akan tetapi kegoncangan tersebut akan juga dialami oleh para pengambil riba di dunia ini. Kegoncangan tersebut tidak lain adalah kegoncangan ekonomi. Atau dengan istilah yang lebih teknis adalah “ketidakstabilan ekonomi”. Wallahu a’lam. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: mengapa kegoncangan atau ketidakstabilan ekonomi tersebut dapat terjadi?

IV. PENYEBAB TERJADINYA KETIDAKSTABILAN EKONOMI

Untuk menjawab pertanyaan di atas ternyata tidak sulit. Sebab, jawabannya langsung ditunjukkan oleh Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, yaitu:


“...Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba(QS. Al Baqarah: 275).

Kelanjutan ayat di atas memberi penjelasan, bahwa penyebab kegoncangan tersebut adalah akibat mempersamakan antara jual beli dan riba. Dalam teori ekonomi konvensional, kenyataannya memang tidak pernah dibedakan antara laba yang diambil dari penjualan barang dan bunga dari “penjualan” uang. Demikian juga antara sewa dari pemanfaatan barang yang dipinjamkan, dengan bunga dari pemanfaatan uang yang dipinjamkan. Semuanya dianggap sama, karena dianggap sebagai kompensasi logis dari “imbalan” dari pemanfaatan sesuatu (Boediono, 1992).

Hal itu sangat berbeda dengan Al Qur'an yang membedakan antara pemanfaatan barang dan pemanfaatan uang, antara penjualan barang dengan “penjualan” uang. Al Qur'an menghalalkan keuntungan (laba) yang didapatkan dari transaksi terhadap barang dan mengharamkan keuntungan (bunga) yang didapatkan dari transaksi terhadap uang, yang kemudian disebut dengan riba. Hal itu telah ditegaskan Allah SWT dalam kelanjutan ayat tersebut, yaitu:

“…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Dengan demikian, jika kita mencermati ketentuan yang telah digariskan ayat Al Qur’an di atas, maka kita dapat menarik satu pemikiran yang mendasar, bahwa uang dalam pandangan Islam harus mendapatkan perlakuan khusus, yaitu tidak boleh dijadikan sebagai alat komoditi sebagaimana barang dalam rangka untuk memperoleh keuntungan, yaitu riba. Jika ketentuan Al Qur’an ini dilanggar, maka akan menyebabkan terjadinya kegoncangan ekonomi, sebagaimana yang telah disebut di awal ayat ini.

Dari sinilah kita dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber penyebab terjadinya ketidakstabilan ekonomi atau terjadinya kegoncangan ekonomi tidak lain adalah akibat menggunakan uang sebagai alat komoditi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Keuntungan yang didapat itulah yang disebut dengan riba, yang hukumnya haram. Para pelakunya telah diancam akan dimasukkan ke dalam neraka, bahkan akan menyebabkan kekal di dalamnya, apabila pelakunya sudah mengetahui, kemudian mengulang-ulangnya. Hal itu dapat dlihat dari kelanjutan Firman Allah dalam ayat tersebut:


“…Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(QS. Al Baqarah: 275).

I. RIBA DAN KETIDAKSTABILAN EKONOMI

Setelah kita memahami sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi, maka pertanyaan berikutnya adalah: mengapa riba dapat menjadi sumber penyebab ketidakstabilan ekonomi? Untuk memahami hal itu, maka kita harus memahami makna dari riba itu sendiri secara lebih mendalam.

Riba dalam makna bahasa berarti bertambah, berkembang atau tumbuh. Sedangkan dalam makna syar’i, riba maknanya adalah tambahan atau “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di luar pengembalian pokok, sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo (Chapra 2000; Sabiq, 1993).

Selanjutnya, dengan memahami penjelasan dari dalil-dalil As Sunnah, riba tersebut dapat dikategorikan ke dalam 2 bagian, yaitu:

a. Riba Nasi’ah

Istilah nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang bermakna menunda, menangguhkan atau menunggu. Dengan demikian makna riba nasi’ah secara istilah adalah tambahan atau “premi” yang harus diberikan penghutang karena telah diberi masa untuk membayar hutangnya (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Riba nasi’ah inilah yang saat ini banyak diambil dalam praktik di perbankan konvensional, yang dikenal dengan istilah bunga.

b. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar atau jual-beli barang-barang tertentu. Ada 6 jenis barang yang dapat memunculkan riba apabila barang-barang tersebut ditransaksikan, yaitu: emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam (Chapra 2000; Sabiq, 1993). Dalilnya adalah:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam serupa dengan serupa, dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang membayar lebih atau mengambil lebih, ia telah melakukan riba. Pengambil dan pembayar sama-sama berdosa” (HR. Muslim; HR. Ahmad).

Emas dan perak yang dimaksudkan dalam Hadits di atas tidak lain adalah mata uang (An Nabhani, 1994). Oleh karena itu, ketentuan yang harus dipenuhi dalam tukar-menukar atau jual beli mata uang yang sejenis adalah: berat timbangannya atau nilai uangnya sama dan setimbang. Sedangkan untuk tukar-menukar mata uang yang tidak sejenis, maka boleh dengan sesukanya, namun dengan ketentuan harus kontan dan serah terimanya harus berada di tempat. Jika ketentuan ini dilanggar, maka akan menimbulkan riba. Dalilnya adalah:

“Janganlah kalian menjualbelikan emas dengan emas kecuali dengan sama (timbangan dan ukurannya). Tidak boleh sebagiannya melebihi sebagiannya yang lain, juga jangan kalian menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan dan ukuran yang sama. Dan jangan menjual emas dan perak yang tidak ada di tempat saat melakukan transaksi (ghaib)” (HR. Bukhari, No: 2177).

Rasulullah SAW melarang jual beli perak dengan perak dan emas dengan emas, kecuali dengan nilai setara (sama nilainya). Beliau membolehkan kita membeli perak dengan emas menurut kehendak kita, serta membolehkan kita membeli emas dengan perak menurut kehendak kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali sama (timbangan dan ukurannya) dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama timbangan dan ukurannya. Tidak boleh sebagian melebihi sebagian yang lain dan janganlah kalian menjual sebagian emas dan perak yang tidak ada di tempat dengan kontan.” (Sunan Tirmizi: 1259).

“Bahwa dia bertransaksi dengan Thalhah bin Ubaidillah di Makkah sebesar seratus dinar. Kemudian Thalhah mengambil uang emas tersebut dan mulai dilihat-lihat darinya, kemudian berkata: ‘Tunggu, sampai datang bendaharaku dari hutan’. Saat itu Umar mendengar hal ini, lalu dia berkata: ‘Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Menjual emas dengan perak akan mengandung riba kecuali bila kontan’ “ (Bukhari: 2174; Muslim: 1586; Tirmizi: 1243; Abu Daud: 3348).

Riba fadhl saat ini banyak diambil dalam praktik jual beli mata uang pada bursa valuta asing (foreign exchange). Praktik di bursa valas dapat dianggap banyak menimbulkan riba fadhl karena fakta jual beli mata uang yang ada di bursa tersebut tidak ada yang dilakukan secara kontan dan serah terimanya juga tidak berada di tempat (Triono, 2003).

Selanjutnya, bagaimana penjelasan keterkaitan antara riba dengan ketidakstabilan ekonomi? Siregar (2001), telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Dengan adanya ketentuan suku bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengembalian. Oleh karenanya, peminjaman perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Akibatnya, dana bank hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja. Sedangkan golongan miskin tidak akan pernah memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.

Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicius consumption (konsumsi barang lux, yang hanya berguna untuk simbol status), pengeluaran yang tidak bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi yang non produktif dan tidak bermanfaat.

Selanjutnya, tingginya konsumsi masyarakat tersebut tentu akan berdampak kepada semakin berkurangnya tabungan masyarakat. Jika tabungan masyarakat semakin rendah, hal itu akan berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan suku bunga (interest rate). Apabila suku bunga sering mengalami perubahan, hal itu juga akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian (uncertainty). Tingginya volatility dari suku bunga tersebut akan menyebabkan tingginya ketidakpastian (uncertainty) dalam financial market. Hal itulah yang menyebabkan investor tidak berani melakukan investasi jangka panjang, sehingga hanya akan memilih investasi jangka pendek saja.

Apabila borrower mahupun lender lebih mempertimbangkan investasi jangka pendek saja, maka investasi jangka pendek yang lebih cenderung kepada aktivitas spekulasi akan lebih menarik daripada investasi yang jangka panjang yang lebih produktif. Akibatnya masyarakat akan lebih suka mencari keuntungan (capital gain) dari pasar saham (stock exchange), pasar mata uang asing (foreign exchange) dan aktivitas keuangan derevatif lainnya yang lebih bersifat spekulatif.

Hal inilah yang menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Prof. John Gray dari Oxford University telah mengakui terjadinya hal itu. Dia menyatakan bahwa motif transaksi murni dalam pasar valas telah berubah menjadi perdagangan derivatif yang penuh dengan motif spekulasi. Hanya 5 % dari $ 1,2 triliun per hari transaksi keuangan yang berorientasi kepada sektor riil dan selebihnya (95%) adalah transaksi spekulatif yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil sama sekali (Karim, 2002). Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktu-waktu dapat meletup dan dapat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang sangat besar.

Tingginya inflasi (hyper inflation) yang menimpa Indonesia pada krisis moneter di tahun 1997-an juga tidak terlepas dari ulah spekulan mata uang di bursa valas tersebut. Akibat adanya spekulasi di bursa valas, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS inilah yang mengakibatkan harga-harga barang impor menjadi sangat tinggi. Indonesia sebagai negara yang mayoritas industrinya masih bergantung pada bahan baku impor, dengan naiknya harga barang impor inilah yang menyebabkan terjadinya inflasi tinggi di Indonesia (Tambunan, 1998).

Bagi negara yang banyak memiliki hutang luar negeri, maka terjadinya depresiasi nilai tukar akan lebih membahayakan ekonominya. Bordo, Meissner & Weidenmier (2006), telah melakukan penelitian terhadap fakta tersebut. Negara yang hutang luar negerinya banyak dalam mata uang asing, sedangkan arus pendapatan terbesarnya dalam mata uang lokal, akan mengalami keadaan yang disebut dengan currency mismatches (ketidaksepadanan mata uang). Ketidaksepadanan mata uang tersebut dapat membuat negara menjadi lebih peka (vulnerable) terhadap terjadinya depresiasi mata uang. Jika mata uangnya mengalami depresiasi secara mendadak, maka kondisi keuangannya akan segera terguncang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis keuangan, sebagaimana yang menimpa Asia pada tahun 1997-an.

Dampak dari terjadinya fluktuasi kurs mata uang juga akan lebih banyak merugikan negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian yang dilakukan Esquivel dan Larrain (2002), mengungkapkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai tukar mata uang G-3 (Amerika, Jepang dan Jerman) akan menurunkan 2 % nilai ekspor riil negara berkembang. Hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa kenaikan volatilitas nilai tukar dari mata uang negara G-3 tersebut juga menyebabkan terjadinya krisis nilai tukar di negara-negara berkembang.

Dengan demikian, jika kita mau kembali merujuk kepada ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah, maka faktor-faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak nilai mata uang harus ditekan seminimal mungkin. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka keberadaan transaksi valuta asing yang dilakukan secara tidak kontan dan tidak berada di tempat seharusnya segera dihilangkan, sebab kenyataannya praktik tersebut ternyata telah menumbuhsuburkan spekulasi yang berujung pada terjadinya kegoncangan nilai tukar mata uang, yang dampaknya dapat menghancurkan ekonomi sektor riil, yaitu ditandai dengan tingginya tingkat inflasi.

II. PENUTUP

Uraian yang panjang di atas telah memberi pemahaman kepada kita, bahwa sumber-sumber penyebab utama terjadinya inflasi tidak lain adalah akibat dari transaksi mata uang yang tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, jika kita ingin mewujudkan stabilitas ekonomi yang relatif lebih permanen, yaitu stabilitas ekonomi yang ditandai dengan rendahnya tingkat inflasi, yang akan lebih mendukung bagi terwujudnya pembangunan ekonomi jangka panjang, maka kita harus berani melakukan langkah-langkah kebijakan yang lebih mendasar, yaitu berupaya menghilangkan masalah sampai kepada sumber-sumber penyebabnya.

Tentu saja semuanya itu akan kembali kepada keyakinan kita. Jika kita masih memiliki keyakinan bahwa Al Qur’an adalah Kitab suci yang berasal dari Allah SWT, demikian juga, jika kita masih yakin bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Tahu terhadap apa yang lebih bermanfa’at bagi makhluknya dan apa-apa yang akan membawa kemudharatan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan petunjuk dari Allah SWT tersebut. Wallahu a’lam bish-showab.

DAFTAR PUSTAKA

Boediono. 1999. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta.

Boediono. 1992. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. Edisi 3.

Bordo, Michael D., Christopher M. Meissner, Marc D. Weidenmier. Currency Mismatches, Default Risk, And Exchange Rate Depreciation: Evidence From The End Of Bimetallism. Working Paper 12299. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. June 2006

Bordo, Michael D., Robert T. Dittmar, William T. Gavin. Gold, Fiat Money, And Price Stability. Working Paper 10171. National Bureau Of Economic Research. Cambridge. December 2003

Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Gema Insani Press. Jakarta.

Deliarnov. 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajawali Press. Jakarta.

Esquivel, Gerardo and Larrain B, Felipe (2002). The Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries. Harvard University Working Paper No. 86.

Humphreys, Ian J. 1997. Pengetahuan Ekonomi untuk Orang Awam. Alih Bahasa: Kencanawati Taniran & Gianto Widianto. Arcan. Jakarta.

Karim, Adiwarman. 2002, Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT & Karim Business Consulting, Jakarta.

An-Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.

Prayitno, Hadi & Budi Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Cetakan I.

Sabiq, Sayyid. 1995. Fikih Sunnah. Alih Bahasa: Kamaluddin A. Marzuki. Al-Ma’arif. Bandung.Cetakan 5.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid - An-Nuur. Pustaka Rizki Putra. Semarang. Cetakan II. Edisi II.

Siregar, Mulya E. 2001. Manajemen Moneter Alternatif. Dalam: Dinar Emas - Solusi Krisis Moneter. Penyunting: Ismail Yusanto dkk. Pirac, SEM Institute, Infid. Jakarta.

Tambunan, Tulus. 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta.

Triono, Dwi Condro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi Versus Pemerataan Ekonomi. Irtikaz. Yogyakarta.

Triono, Dwi Condro. Mata Uang Negara Khilafah. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e No. 70 Tahun VI. Juni 2006.

Wednesday, March 14, 2007

SAATNYA KEMBALI KEPADA SISTEM EKONOMI ISLAM

I. PENGANTAR

Terjadinya malapetaka demi malapetaka ekonomi yang melanda dunia dalam masa seabad terakhir ini seharusnya sudah dapat dijadikan sebagai pelajaran yang berharga bagi umat manusia. Diawali dengan terjadinya malapetaka besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya malapetaka tersebut harus muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997 (Triono, 2006).
Malapetaka-malapetaka ekonomi tersebut diawali dengan masa-masa inflasi tinggi yang menyakitkan, kemudian perekonomian dunia mengalami suatu resesi yang mendalam dengan laju pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kondisi itu juga diikuti dengan laju suku bunga riil yang tinggi dan fluktuasi valuta asing yang tidak sehat. Telah banyak solusi yang ditawarkan oleh ekonomi konvensional, akan tetapi krisis demi krisis terus berlanjut. Helmut Schmidt dalam satu dekade yang lalu pernah mengungkapkan, “Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan perjalanan masa depannya benar-benar tidak pasti” (Chapra, 2000).
Jika kita melihat terjadinya keberlanjutan malapetaka ekonomi ini, seharusnya kita segera sadar, barangkali ada sesuatu yang salah dalam perjalanan perekonomian yang selama ini ada. Apakah kesalahan itu? Jawabannya akan banyak bergantung kepada tingkat analisis yang digunakan untuk melihat terjadinya masalah-masalah tersebut.
Jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan tersebut hanya dilakukan pada simtom (gejala), bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis keuangan yang terjadi dengan hanya memperbaiki ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecenderungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama antarbangsa yang tidak mencukupi dsb. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit, tetapi hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan dapat terjadi dengan lebih dalam dan serius (Chapra, 2000).
Dalam tulisan yang singkat ini, penulis ingin menawarkan paradigma pemikiran ekonomi yang berbeda dari pemikiran-pemikiran ekonomi yang telah ada. Perbedaan paradigma pemikiran ekonomi ini tidak hanya terhadap pemikiran ekonomi konvensional, tetapi juga terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang sekarang ini ada, yang kenyataannya mulai menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

II. SISTEM-SISTEM EKONOMI DUNIA

Sistem ekonomi yang ada di dunia ini dalam perbincangan disiplin ilmu ekonomi, hanya dikelompokkan menjadi dua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuelson & Nordhaus (1999), sistem ekonomi yang pertama adalah sistem perekonomian komando (command economy). Pada sistem ini pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengambil semua keputusan yang menyangkut soal produksi dan distribusi. Negara juga menguasai hampir semua sarana produksi (tanah atau modal). Negara memiliki dan mengatur secara langsung operasi semua perusahaan di berbagai sektor industri. Negara merupakan majikan dari semua angkatan kerja. Sistem ekonomi ini biasa disebut dengan sistem ekonomi sosialisme atau komunisme.
Sistem yang kedua adalah sistem perekonomian pasar (market economy). Dalam perekonomian ini, individu dan perusahaan membuat keputusan-keputusan utama mengenai produksi dan konsumsi. Campur tangan pemerintah sangat terbatas. Keputusan ekonomi umumnya diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini biasa dikenal dengan sistem ekonomi libelarisme atau kapitalisme.
Dari tinjauan literatur tersebut nampak bahwa sistem ekonomi Islam belum mendapat tempat, atau bahkan mungkin dianggap tidak ada. Itulah sebabnya, dari kalangan ekonom muslim muncul semangat yang besar untuk menghadirkan sosok ekonomi Islam di tengah kancah pergulatan pemikiran ekonomi dunia.
Namun demikian ada yang patut untuk disayangkan terhadap munculnya semangat untuk menghadirkan sosok ekonomi Islam tersebut. Hal yang paling patut untuk segera dievaluasi kembali terhadap kehadiran ekonomi Islam tersebut adalah telah masuknya pemikiran ekonomi Islam tersebut ke dalam perangkap pemikiran ekonomi konvensional. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi konvensional tentu saja adalah ekonomi liberalisme atau kapitalisme.
Keadaan itu nampak nyata tidak hanya menyangkut metode dan alat analisis yang digunakan, namun sudah sampai kepada asumsi-asumsi dasar (paradigm) ekonomi yang dipakai, ternyata juga sudah banyak mengekor kepada ekonomi konvensional. Akibatnya sangat mudah dilihat, hampir semua produk-produk ekonomi Islam yang dihasilkan kerangka besarnya sama dan sebangun dengan kerangka besar ekonomi kapitalisme, dengan adanya sedikit perbedaan tentunya, yaitu adanya embel-embel (trade mark) Islamnya.
Oleh karena itu, kita tidak perlu kaget lagi dengan kehadiran produk ekonomi Islam seperti bank Islam, BPR Islam, asuransi Islam, pegadaian Islam, koperasi Islam, pasar modal Islam, reksadana Islam, kartu kredit Islam dsb. Dengan melihat produk-produknya tersebut, masyarakat tentu akan mudah memberi penilaian, bahwa perkembangan pemikiran ekonomi Islam belum memberikan sesuatu yang baru. Akan tetapi, kehadiran ekonomi Islam hanya sekedar menjadi “penggembira” atau bahkan sebagai “pelengkap penderita” terhadap berjalannya sistem ekonomi yang sekarang ini ada, yaitu sistem ekonomi kapitalisme.
Sekali lagi, fenomena di atas tentu patut untuk disayangkan. Potensi besar yang dimiki para ekonom muslim akhirnya harus bermuara pada ekonomi kapitalisme juga. Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan terus terjadi dan terus berkelanjutan. Harus ada upaya untuk segera mengevaluasi arah perjalanan pemikiran ekonomi Islam tersebut. Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, pengembangan pemikiran ekonomi Islam seharusnya bagaimana atau harus dimulai dari mana? Inilah pertanyaan yang akan penulis jawab dalam tulisan ini.

III. SISEM EKONOMI ISLAM

Pengembangan pemikiran ekonomi Islam seharusnya berani keluar dari kungkungan kerangka besar ekonomi kapitalisme. Sebagaimana yang pernah dilakukan Karl Marx, sang pendiri pemikiran ekonomi sosialisme, dalam mengembangkan pemikiran ekonominya, dia benar-benar berani keluar dari wilayah pemikiran ekonomi kapitalisme, kemudian membangun sebuah “kerajaan” ekonominya sendiri. Dari sinilah Karl Marx layak untuk disebut telah membangun sebuah sistem ekonomi yang baru, yang kemudian dikenal dengan sistem ekonomi sosialisme (Deliarnov, 1997; Koesters, 1987).
Demikian seharusnya yang dilakukan oleh para pakar ekonomi Islam. Harus ada keberanian untuk keluar dari kungkungan pemikiran ekonomi kapitalisme maupun sosialisme untk membangun “istana” pemikiran ekonominya sendiri. Dengan kata lain, para pakar ekonomi islam harus berani melahirkan sebuah sistem ekonomi yang baru, yaitu sistem ekonomi Islam.
Selanjutnya, masalah yang paling kritis adalah menyangkut pertanyaan tentang bagaimana sebuah pemikiran ekonomi itu sudah layak untuk disebut sebagai sebuah “sistem ekonomi”? Inilah suatu hal yang harus secara arif dan bijaksana untuk dapat dirumuskan. Tidak perlu tergesa-gesa dan tidak boleh dilakukan secara emosional.
Untuk dapat menjawab persoalan di atas, kita dapat kembali kepada acuan yang digunakan oleh Samuelson & Nordhaus (1999) dalam membagi sistem-sistem ekonomi yang ada di dunia ini. Apabila kita cermati secara lebih mendalam, sebenarnya ada tolok ukur yang sangat jelas apabila kita hendak membedakan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya.
Tolok ukur tersebut tidak lain adalah menyangkut siapa sesungguhnya yang diberi kewenangan untuk mengelola harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Dengan kata lain, sesungguhnya perbincangan tentang paradigma sistem ekonomi harus dimulai dari pandangan dasar terhadap harta kekayaan di dunia itu sendiri. Dari sinilah akan muncul 3 pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu:
Sesungguhnya seluruh harta kekayaan yang ada di dunia itu hak milik siapa?
Selanjutnya, siapa sesungguhnya yang berhak untuk mengelolanya?
Akhirnya, produk hasil pengelolaan tersebut akan di distribusikan kepada siapa?
Inilah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus dijawab, ketika seseorang hendak membangun sebuah “sistem ekonomi baru”.

IV. MEMBANGUN SISTEM EKONOMI ISLAM

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia melalui perantaraan utusannya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sumber-sumber agama Islam terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Tujuan utama diturunkannya Al Qur’an tiada lain adalah agar dijadikan sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di muka bumi ini. Hal itu telah disampaikan Allah SWT melalui QS. Al Baqarah: 185, iaitu:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeza (antara yang hak dan yang bathil)”.

Petunjuk yang diberikan Allah dalam Al Qur’an adalah petunjuk yang lengkap dan sempurna. Semua masalah kehidupan yang akan dihadapi manusia telah ada penjelasan dan solusinya dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Hal itu telah dinyatakan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl: 89).

Dengan demikian, di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentu akan didapati berbagai macam petunjuk Allah SWT yang dapat diambil oleh manusia untuk menyelesaikan segenap masalah-masalah dalam kehidupannya. Termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah ekonomi.
Jika kita mau menggali kembali kepada sumber-sumber Al Qur’an dan As Sunnah, maka 3 pertanyaan yang mendasar di atas akan dapat di jawa satu per satu. Terhadap pertanyaan yang pertama, yaitu: sesungguhnya seluruh harta kekayaan yang ada di dunia itu hak milik siapa? Islam mempunyai sebuah pandangan yang berbeda sama sekali dengan dua sistem ekonomi yang ada. Islam memandang bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33).

Dari ayat ini dipahami bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal itu dipertegas dengan mendasarkan pada firman Allah:

“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Q.S. Al-Hadiid: 7).

Penguasaan (istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan yang tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab pemilikan. Islam telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat dsb.
Ternyata sistem ekonomi Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di dunia ini tidak hanya diperuntukkan pada individu untuk dapat dimiliki sepenuhnya, tetapi dalam Islam dikenal dan diatur pula tentang kepemilikan umum, yaitu pemilikan yang berlaku secara bersama bagi semua ummat. Hal itu didasarkan pada beberapa Hadits Nabi, diantaranya adalah hadits Imam Ahmad Bin Hanbal yang diriwayatkan dari salah seorang Muhajirin, bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Manusia itu berserikat dalam tiga perkara: air, rumput dan api”


Selain pemilikan umum, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang kepemilikan negara, seperti: setiap Muslim yang mati, sedang dia tidak memiliki ahli waris, maka hartanya bagi Baitul Mal, milik negara. Demikian juga contoh yang lain adalah adanya ketentuan tentang kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i dll.
Apabila harta itu telah dikuasai (dimiliki) oleh manusia secara sah, hukum Islam tidak membiarkan manusia secara bebas memanfaatkan harta tersebut. Islam telah menjelaskan dan mengatur tentang pemanfaatan harta yang dibolehkan (halal) dan yang dilarang (haram). Islam mengharamkan pemanfaatan harta untuk membeli minuman keras, daging babi, menyuap, menyogok, berfoya-foya dsb.
Selanjutnya Islam juga mengatur dan menjelaskan tentang pengembangan harta. Islam mengharamkan pengembangan harta dengan jalan menipu, membungakan (riba) dalam hal pinjam-meminjam maupun tukar-menukar, berjudi dsb. Islam membolehkan pengembangan harta dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, syirkah, musaqot dsb.
Adapun ketentuan Islam terhadap negara, maka Islam telah menjelaskan bahwa negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk melayani kepentingan ummat. Hal itu didasarkan pada salah satu hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda:

“Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”.

Agar negara dapat melaksakan kewajibannya, maka Islam telah memberi kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan negara dan tidak mengijinkan bagi seorangpun (individu maupun swasta) untuk mengambil dan memanfaatkannya secara liar. Kepemilikan umum seperti: minyak, tambang besi, emas, perak, tembaga, hutan harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi rakyat. Distribusi kekayaan itu diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ghanimah, fa’i dsb), maka Islam telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Prinsip umum pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Q.S. Al Hasyr: 7).

Maksud dari ayat di atas adalah agar peredaran harta tidak hanya terbatas pada orang-orang kaya saja di negara tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam harta itu seharusnya hanya bisa dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan didistribusikan secara sah apabila sesuai dengan ijin dari Allah sebagai Dzat pemilik hakiki dari harta tersebut. Secara lebih terperinci dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi Islam dapat dicakup dalam tiga pilar utama, yaitu (An Nabhani, 1990):
1. Kepemilikan (al-milkiyah), yang meliputi:
Kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
Kepemilikan umum (al milkiyah al-‘ammah).
Kepemilikan negara (al milkiyah ad-daulah).
2. Pemanfaatan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah), yang meliputi:
Penggunaan harta (infaq al-maal), yaitu untuk konsumsi.
Pengembangan kepemilikan (tanmiyat al milkiyah), yaitu untuk produksi.
3. Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas), yang meliputi:
Distribusi secara ekonomis, melalui peran individu.
Distribusi secara non ekonomis, yaitu melalui peran negara.

V. GARIS PERBEDAAN

Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam tersebut maka akan nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi yang lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Kita tentu tidak terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil penelitian Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan pendapatan dari 3 milyar manusia (Triono, 2005). Itulah “karya” nyata dari ekonomi kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan dengan jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu disebabkan, di dalam sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada individu-individu untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang.
Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan. Bahkan mundurnya Chrushov dari pemerintahan di Rusia pada waktu itu, salah satu penyebab utamanya adalah selalu terjadinya kemunduran produksi pertanian di Rusia.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat dilihat dari adanya kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta, apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang. Fakta akan terjadinya “perampokan” keji tersebut dapat dibaca secara lebih jelas dalam buku karya John Perkins (2006), yang berjudul “Confessions of an Economic Hit Man”.

VI. PENUTUP

Apa yang telah diuraikan di atas sesungguhnya barulah tahap awal dari gagasan tentang perlunya membangun kembali sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang benar-benar dapat dibedakan dengan sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Gagasan ini tentu tidak boleh berhenti sampai disini, gagasan ini tentu membutuhkan perincian dan perluasan lebih lanjut. Demikian juga gagasan ini tentu membutuhkan tanggapan, evaluasi, penilaian dari pakar-pakar ekonomi Islam secara positif dan konstruktif demi kemajuan dan kemuliaan Islam maupun kaum muslimin itu sendiri.
Namun demikian, ada satu hal yang patut diperhatikan oleh semua pihak, bahwa pemikiran Islam tetap harus dibedakan dengan produk pemikian apapun buatan manusia. Pemikiran Islam tetap tidak boleh hanya berhenti kepada dataran wacana. Jika kita telah menyakini kebenaran pemikian Islam tersebut, maka tuntutan Islam hanya satu, yaitu: ajaran Islam tersebut harus diamalkan. Ajaran Islam tersebut harus segera diwujudkan dalam kehidupan yang nyata, sebagaimana firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al Anfal:24).

Demikianlah sumbangsih pemikiran yang dapat diberikan oleh penulis, semoga ada manfaatnya bagi terjadi perubahan ekonomi dunia pada saat ini untuk menuju kepada perekonomian yang lebih baik, lebih memakmurkan, lebih berkah, lebih mensejahterakan, lebih berkeadilan dan yang paling penting adalah lebih diridloi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.


DAFTAR RUJUKAN


Al-Qur’anul Karim

Al Hadits.

Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Terj. Ikhwan Abidin basri. Gema Insani Press. Jakarta.

Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Perkins, John, 2006. Confessions of an Economic Hit Man. Alih bahasa:

Koesters, Paul Heinz, 1987, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita, Gramedia, Jakarta.

An Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.

Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.

Triono, Dwi Condro. Bahaya Ekonomi Neo-Liberal di Indonesia. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e. No. 57. Tahun V. Mei 2005.

Triono, Dwi Condro. Mata Uang Negara Khilafah. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e. No. 70. Tahun VI. Juni 2006.

Zain, Samih Athif, 1988, Syari’at Islam dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Hussaini, Bandung, Cet I.