Wednesday, March 14, 2007

SAATNYA KEMBALI KEPADA SISTEM EKONOMI ISLAM

I. PENGANTAR

Terjadinya malapetaka demi malapetaka ekonomi yang melanda dunia dalam masa seabad terakhir ini seharusnya sudah dapat dijadikan sebagai pelajaran yang berharga bagi umat manusia. Diawali dengan terjadinya malapetaka besar (the great depressions) pada tahun 1930-an, kemudian disusul dengan terjadinya krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, akhirnya malapetaka tersebut harus muncul kembali pada krisis moneter di Asia pada pertengahan tahun 1997 (Triono, 2006).
Malapetaka-malapetaka ekonomi tersebut diawali dengan masa-masa inflasi tinggi yang menyakitkan, kemudian perekonomian dunia mengalami suatu resesi yang mendalam dengan laju pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kondisi itu juga diikuti dengan laju suku bunga riil yang tinggi dan fluktuasi valuta asing yang tidak sehat. Telah banyak solusi yang ditawarkan oleh ekonomi konvensional, akan tetapi krisis demi krisis terus berlanjut. Helmut Schmidt dalam satu dekade yang lalu pernah mengungkapkan, “Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan perjalanan masa depannya benar-benar tidak pasti” (Chapra, 2000).
Jika kita melihat terjadinya keberlanjutan malapetaka ekonomi ini, seharusnya kita segera sadar, barangkali ada sesuatu yang salah dalam perjalanan perekonomian yang selama ini ada. Apakah kesalahan itu? Jawabannya akan banyak bergantung kepada tingkat analisis yang digunakan untuk melihat terjadinya masalah-masalah tersebut.
Jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tidak akan ada pengobatan yang efektif kecuali hal itu diarahkan kepada arus utama masalah. Kesalahan yang umumnya dilakukan adalah bahwa pengobatan tersebut hanya dilakukan pada simtom (gejala), bukan secara causatic (sumber masalah). Contoh penyelesaian masalah yang hanya sampai kepada gejala adalah: penyelesaian krisis keuangan yang terjadi dengan hanya memperbaiki ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang terlalu besar, naiknya kecenderungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing dan kerja sama antarbangsa yang tidak mencukupi dsb. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat sementara, seperti obat-obatan analgesik, mengurangi rasa sakit, tetapi hanya bersifat sementara. Beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan dapat terjadi dengan lebih dalam dan serius (Chapra, 2000).
Dalam tulisan yang singkat ini, penulis ingin menawarkan paradigma pemikiran ekonomi yang berbeda dari pemikiran-pemikiran ekonomi yang telah ada. Perbedaan paradigma pemikiran ekonomi ini tidak hanya terhadap pemikiran ekonomi konvensional, tetapi juga terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang sekarang ini ada, yang kenyataannya mulai menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

II. SISTEM-SISTEM EKONOMI DUNIA

Sistem ekonomi yang ada di dunia ini dalam perbincangan disiplin ilmu ekonomi, hanya dikelompokkan menjadi dua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuelson & Nordhaus (1999), sistem ekonomi yang pertama adalah sistem perekonomian komando (command economy). Pada sistem ini pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengambil semua keputusan yang menyangkut soal produksi dan distribusi. Negara juga menguasai hampir semua sarana produksi (tanah atau modal). Negara memiliki dan mengatur secara langsung operasi semua perusahaan di berbagai sektor industri. Negara merupakan majikan dari semua angkatan kerja. Sistem ekonomi ini biasa disebut dengan sistem ekonomi sosialisme atau komunisme.
Sistem yang kedua adalah sistem perekonomian pasar (market economy). Dalam perekonomian ini, individu dan perusahaan membuat keputusan-keputusan utama mengenai produksi dan konsumsi. Campur tangan pemerintah sangat terbatas. Keputusan ekonomi umumnya diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini biasa dikenal dengan sistem ekonomi libelarisme atau kapitalisme.
Dari tinjauan literatur tersebut nampak bahwa sistem ekonomi Islam belum mendapat tempat, atau bahkan mungkin dianggap tidak ada. Itulah sebabnya, dari kalangan ekonom muslim muncul semangat yang besar untuk menghadirkan sosok ekonomi Islam di tengah kancah pergulatan pemikiran ekonomi dunia.
Namun demikian ada yang patut untuk disayangkan terhadap munculnya semangat untuk menghadirkan sosok ekonomi Islam tersebut. Hal yang paling patut untuk segera dievaluasi kembali terhadap kehadiran ekonomi Islam tersebut adalah telah masuknya pemikiran ekonomi Islam tersebut ke dalam perangkap pemikiran ekonomi konvensional. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi konvensional tentu saja adalah ekonomi liberalisme atau kapitalisme.
Keadaan itu nampak nyata tidak hanya menyangkut metode dan alat analisis yang digunakan, namun sudah sampai kepada asumsi-asumsi dasar (paradigm) ekonomi yang dipakai, ternyata juga sudah banyak mengekor kepada ekonomi konvensional. Akibatnya sangat mudah dilihat, hampir semua produk-produk ekonomi Islam yang dihasilkan kerangka besarnya sama dan sebangun dengan kerangka besar ekonomi kapitalisme, dengan adanya sedikit perbedaan tentunya, yaitu adanya embel-embel (trade mark) Islamnya.
Oleh karena itu, kita tidak perlu kaget lagi dengan kehadiran produk ekonomi Islam seperti bank Islam, BPR Islam, asuransi Islam, pegadaian Islam, koperasi Islam, pasar modal Islam, reksadana Islam, kartu kredit Islam dsb. Dengan melihat produk-produknya tersebut, masyarakat tentu akan mudah memberi penilaian, bahwa perkembangan pemikiran ekonomi Islam belum memberikan sesuatu yang baru. Akan tetapi, kehadiran ekonomi Islam hanya sekedar menjadi “penggembira” atau bahkan sebagai “pelengkap penderita” terhadap berjalannya sistem ekonomi yang sekarang ini ada, yaitu sistem ekonomi kapitalisme.
Sekali lagi, fenomena di atas tentu patut untuk disayangkan. Potensi besar yang dimiki para ekonom muslim akhirnya harus bermuara pada ekonomi kapitalisme juga. Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan terus terjadi dan terus berkelanjutan. Harus ada upaya untuk segera mengevaluasi arah perjalanan pemikiran ekonomi Islam tersebut. Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, pengembangan pemikiran ekonomi Islam seharusnya bagaimana atau harus dimulai dari mana? Inilah pertanyaan yang akan penulis jawab dalam tulisan ini.

III. SISEM EKONOMI ISLAM

Pengembangan pemikiran ekonomi Islam seharusnya berani keluar dari kungkungan kerangka besar ekonomi kapitalisme. Sebagaimana yang pernah dilakukan Karl Marx, sang pendiri pemikiran ekonomi sosialisme, dalam mengembangkan pemikiran ekonominya, dia benar-benar berani keluar dari wilayah pemikiran ekonomi kapitalisme, kemudian membangun sebuah “kerajaan” ekonominya sendiri. Dari sinilah Karl Marx layak untuk disebut telah membangun sebuah sistem ekonomi yang baru, yang kemudian dikenal dengan sistem ekonomi sosialisme (Deliarnov, 1997; Koesters, 1987).
Demikian seharusnya yang dilakukan oleh para pakar ekonomi Islam. Harus ada keberanian untuk keluar dari kungkungan pemikiran ekonomi kapitalisme maupun sosialisme untk membangun “istana” pemikiran ekonominya sendiri. Dengan kata lain, para pakar ekonomi islam harus berani melahirkan sebuah sistem ekonomi yang baru, yaitu sistem ekonomi Islam.
Selanjutnya, masalah yang paling kritis adalah menyangkut pertanyaan tentang bagaimana sebuah pemikiran ekonomi itu sudah layak untuk disebut sebagai sebuah “sistem ekonomi”? Inilah suatu hal yang harus secara arif dan bijaksana untuk dapat dirumuskan. Tidak perlu tergesa-gesa dan tidak boleh dilakukan secara emosional.
Untuk dapat menjawab persoalan di atas, kita dapat kembali kepada acuan yang digunakan oleh Samuelson & Nordhaus (1999) dalam membagi sistem-sistem ekonomi yang ada di dunia ini. Apabila kita cermati secara lebih mendalam, sebenarnya ada tolok ukur yang sangat jelas apabila kita hendak membedakan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya.
Tolok ukur tersebut tidak lain adalah menyangkut siapa sesungguhnya yang diberi kewenangan untuk mengelola harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Dengan kata lain, sesungguhnya perbincangan tentang paradigma sistem ekonomi harus dimulai dari pandangan dasar terhadap harta kekayaan di dunia itu sendiri. Dari sinilah akan muncul 3 pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu:
Sesungguhnya seluruh harta kekayaan yang ada di dunia itu hak milik siapa?
Selanjutnya, siapa sesungguhnya yang berhak untuk mengelolanya?
Akhirnya, produk hasil pengelolaan tersebut akan di distribusikan kepada siapa?
Inilah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus dijawab, ketika seseorang hendak membangun sebuah “sistem ekonomi baru”.

IV. MEMBANGUN SISTEM EKONOMI ISLAM

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia melalui perantaraan utusannya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sumber-sumber agama Islam terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Tujuan utama diturunkannya Al Qur’an tiada lain adalah agar dijadikan sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di muka bumi ini. Hal itu telah disampaikan Allah SWT melalui QS. Al Baqarah: 185, iaitu:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeza (antara yang hak dan yang bathil)”.

Petunjuk yang diberikan Allah dalam Al Qur’an adalah petunjuk yang lengkap dan sempurna. Semua masalah kehidupan yang akan dihadapi manusia telah ada penjelasan dan solusinya dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Hal itu telah dinyatakan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl: 89).

Dengan demikian, di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentu akan didapati berbagai macam petunjuk Allah SWT yang dapat diambil oleh manusia untuk menyelesaikan segenap masalah-masalah dalam kehidupannya. Termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah ekonomi.
Jika kita mau menggali kembali kepada sumber-sumber Al Qur’an dan As Sunnah, maka 3 pertanyaan yang mendasar di atas akan dapat di jawa satu per satu. Terhadap pertanyaan yang pertama, yaitu: sesungguhnya seluruh harta kekayaan yang ada di dunia itu hak milik siapa? Islam mempunyai sebuah pandangan yang berbeda sama sekali dengan dua sistem ekonomi yang ada. Islam memandang bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:

“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33).

Dari ayat ini dipahami bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal itu dipertegas dengan mendasarkan pada firman Allah:

“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Q.S. Al-Hadiid: 7).

Penguasaan (istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan yang tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab pemilikan. Islam telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat dsb.
Ternyata sistem ekonomi Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di dunia ini tidak hanya diperuntukkan pada individu untuk dapat dimiliki sepenuhnya, tetapi dalam Islam dikenal dan diatur pula tentang kepemilikan umum, yaitu pemilikan yang berlaku secara bersama bagi semua ummat. Hal itu didasarkan pada beberapa Hadits Nabi, diantaranya adalah hadits Imam Ahmad Bin Hanbal yang diriwayatkan dari salah seorang Muhajirin, bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Manusia itu berserikat dalam tiga perkara: air, rumput dan api”


Selain pemilikan umum, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang kepemilikan negara, seperti: setiap Muslim yang mati, sedang dia tidak memiliki ahli waris, maka hartanya bagi Baitul Mal, milik negara. Demikian juga contoh yang lain adalah adanya ketentuan tentang kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i dll.
Apabila harta itu telah dikuasai (dimiliki) oleh manusia secara sah, hukum Islam tidak membiarkan manusia secara bebas memanfaatkan harta tersebut. Islam telah menjelaskan dan mengatur tentang pemanfaatan harta yang dibolehkan (halal) dan yang dilarang (haram). Islam mengharamkan pemanfaatan harta untuk membeli minuman keras, daging babi, menyuap, menyogok, berfoya-foya dsb.
Selanjutnya Islam juga mengatur dan menjelaskan tentang pengembangan harta. Islam mengharamkan pengembangan harta dengan jalan menipu, membungakan (riba) dalam hal pinjam-meminjam maupun tukar-menukar, berjudi dsb. Islam membolehkan pengembangan harta dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, syirkah, musaqot dsb.
Adapun ketentuan Islam terhadap negara, maka Islam telah menjelaskan bahwa negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk melayani kepentingan ummat. Hal itu didasarkan pada salah satu hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda:

“Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”.

Agar negara dapat melaksakan kewajibannya, maka Islam telah memberi kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan negara dan tidak mengijinkan bagi seorangpun (individu maupun swasta) untuk mengambil dan memanfaatkannya secara liar. Kepemilikan umum seperti: minyak, tambang besi, emas, perak, tembaga, hutan harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi rakyat. Distribusi kekayaan itu diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ghanimah, fa’i dsb), maka Islam telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Prinsip umum pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Q.S. Al Hasyr: 7).

Maksud dari ayat di atas adalah agar peredaran harta tidak hanya terbatas pada orang-orang kaya saja di negara tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam harta itu seharusnya hanya bisa dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan didistribusikan secara sah apabila sesuai dengan ijin dari Allah sebagai Dzat pemilik hakiki dari harta tersebut. Secara lebih terperinci dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi Islam dapat dicakup dalam tiga pilar utama, yaitu (An Nabhani, 1990):
1. Kepemilikan (al-milkiyah), yang meliputi:
Kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
Kepemilikan umum (al milkiyah al-‘ammah).
Kepemilikan negara (al milkiyah ad-daulah).
2. Pemanfaatan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah), yang meliputi:
Penggunaan harta (infaq al-maal), yaitu untuk konsumsi.
Pengembangan kepemilikan (tanmiyat al milkiyah), yaitu untuk produksi.
3. Distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas), yang meliputi:
Distribusi secara ekonomis, melalui peran individu.
Distribusi secara non ekonomis, yaitu melalui peran negara.

V. GARIS PERBEDAAN

Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam tersebut maka akan nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi yang lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Kita tentu tidak terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil penelitian Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan pendapatan dari 3 milyar manusia (Triono, 2005). Itulah “karya” nyata dari ekonomi kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan dengan jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu disebabkan, di dalam sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada individu-individu untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang.
Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan. Bahkan mundurnya Chrushov dari pemerintahan di Rusia pada waktu itu, salah satu penyebab utamanya adalah selalu terjadinya kemunduran produksi pertanian di Rusia.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat dilihat dari adanya kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta, apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang. Fakta akan terjadinya “perampokan” keji tersebut dapat dibaca secara lebih jelas dalam buku karya John Perkins (2006), yang berjudul “Confessions of an Economic Hit Man”.

VI. PENUTUP

Apa yang telah diuraikan di atas sesungguhnya barulah tahap awal dari gagasan tentang perlunya membangun kembali sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang benar-benar dapat dibedakan dengan sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Gagasan ini tentu tidak boleh berhenti sampai disini, gagasan ini tentu membutuhkan perincian dan perluasan lebih lanjut. Demikian juga gagasan ini tentu membutuhkan tanggapan, evaluasi, penilaian dari pakar-pakar ekonomi Islam secara positif dan konstruktif demi kemajuan dan kemuliaan Islam maupun kaum muslimin itu sendiri.
Namun demikian, ada satu hal yang patut diperhatikan oleh semua pihak, bahwa pemikiran Islam tetap harus dibedakan dengan produk pemikian apapun buatan manusia. Pemikiran Islam tetap tidak boleh hanya berhenti kepada dataran wacana. Jika kita telah menyakini kebenaran pemikian Islam tersebut, maka tuntutan Islam hanya satu, yaitu: ajaran Islam tersebut harus diamalkan. Ajaran Islam tersebut harus segera diwujudkan dalam kehidupan yang nyata, sebagaimana firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS. Al Anfal:24).

Demikianlah sumbangsih pemikiran yang dapat diberikan oleh penulis, semoga ada manfaatnya bagi terjadi perubahan ekonomi dunia pada saat ini untuk menuju kepada perekonomian yang lebih baik, lebih memakmurkan, lebih berkah, lebih mensejahterakan, lebih berkeadilan dan yang paling penting adalah lebih diridloi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.


DAFTAR RUJUKAN


Al-Qur’anul Karim

Al Hadits.

Chapra, Umar. 2000. Sistim Moneter Islam. Terj. Ikhwan Abidin basri. Gema Insani Press. Jakarta.

Deliarnov, 1997, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Perkins, John, 2006. Confessions of an Economic Hit Man. Alih bahasa:

Koesters, Paul Heinz, 1987, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia – Pemikiran-pemikiran yang Mempengaruhi Hidup Kita, Gramedia, Jakarta.

An Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Beirut : Darul Ummah. Cetakan IV.

Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Mikroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.

Triono, Dwi Condro. Bahaya Ekonomi Neo-Liberal di Indonesia. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e. No. 57. Tahun V. Mei 2005.

Triono, Dwi Condro. Mata Uang Negara Khilafah. Media Politik dan Dakwah Al Wai'e. No. 70. Tahun VI. Juni 2006.

Zain, Samih Athif, 1988, Syari’at Islam dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Hussaini, Bandung, Cet I.

2 comments:

Atiqah said...

mari,,,terapkan sistem ekonomi islam...karena dengannya ummat akan sejahtera,,insya allah!!

Isman Purwanto said...

seharusnya setiap umat islam mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menegakkan ekonomi islam dengan cara yang sangat mudah yaitu tutup rekening yang ada di bank konvensional dan pindahkan ke bank syariah. mudah kan, dengan begitu kita sudah termasuk andil dalam penegakan ekonomi syariah. mulai dari diri kita.mulai sekarang.selamat berjuang demi tegakna enomomi islam yang akan membawa kepada kemaslahatan umat/umum.